“Keteguhan Pimpinan TNI (Wiranto) terhadap prinsip konstitusional
itulah yang memungkinkan transisi Indonesia dari negara otoriter ke negara
demokratis”
- Dr. Rizal Ramli, pendiri Econit
“Ayo dialog, ayo bicara, ayo kita cari jalan kompromi…”
Ajakan Jendral Wiranto inilah yang membuahkan dialog antara
pemerintah dengan aktivis saat Indonesia mengalami krisis politik 1998. Jalan
perdamaian yang dikenal dengan Dialog Kemayoran.
Di tengah krisis, Jenderal Wiranto hadir sebagai penengah antara
pemerintah dengan masyarakat. Tanpa pernah mengambil kesempatan untuk berkuasa,
Jenderal Wiranto menjadi juru damai dan membawa Indonesia ke negara demokratis
seperti saat ini.
Pasca reformasi, Wiranto tetap dipercaya mendampingi dua Presiden
RI berikutnya. Tercatat, jasanya dalam mendamaikan berbagai konflik di
Indonesia, membuahkan hasil yang dirasakan rakyat hingga saat ini.
Pertama, Wiranto menengahi konflik antara pemerintahan Presiden
BJ. Habibie dengan kelompok Ciganjur (Gus Dur, Megawati, Nurcholis, Sri Sultan
HB X, dll) saat melakukan konsolidasi demokrasi.
Dengan nalurinya sendiri, Wiranto membuat pertemuan di Wisma A.
Yani dan membuahkan kesepahaman antara kedua pihak untuk melanjutkan proses
reformasi dengan damai. Pertemuan tersebut dikenal dengan pertemuan Ciganjur
Plus.
Kedua, jasa Wiranto juga terekam di Aceh. ketika rakyat Aceh
mendapatkan ketidakadilan dengan adanya operasi militer (Operasi Jaring Merah)
sejak tahun 1987 yang telah banyak menimbulkan korban jiwa.
Saat itu Wiranto langsung terbang ke Lhok Seumawe menemui tokoh
Aceh dan mengumumkan pencabutan status Aceh sebagai DOM (Daerah Operasi
Militer) sejak Agustus 1999. Wiranto menarik semua pasukan dari Aceh kembali ke
basis masing – masing.
Ketiga, Wiranto juga hadir sebagai juru damai di Sambas dan Maluku
saat terjadi konflik antar suku. Dengan sigap Wiranto langsung mendatangi
daerah tersebut dan melakukan upaya damai.
Di Maluku, Wiranto mengirimkan para perwira menengah dan tinggi
asal Maluku untuk menemui kerabat – kerabatnya dan mendorong agar mereka agar
berdamai.
“Saya tidak akan menerima kalian sebelum Maluku damai,” kata
Wiranto.
Dua bulan kemudian Wiranto datang ke Ambon melakukan upacara adat
sebagai symbol kembalinya budaya Slam Sarane (bersatunya pemeluk Islam dan
Nasrani). Sambil makan patita sebagai isyarat perdamaian telah terwujud dan
masyarakat kembali hidup rukun.
Keempat, Wiranto mendamaikan dua kelompok besar di Timor Timur
yang selama 23 tahun berkonflik antara kelompok pro integrasi dengan anti
integrasi. Di depan Uskup dan masyarakat kesepakatan damai ditandatangani.
Demikianlah Wiranto, bekerja dengan panggilan hati nurani. Juru
damai tanpa publikasi.
“Indonesia bukanlah Burma atau Cina, dan lapangan Monas tidak
menjadi lapangan Tian An Men yang kedua. Untuk itu rakyat Indonesia dan dunia
harus berterimakasih pada Wiranto”
– Paul Wolfowitz, Mantan Dubes AS di Jakarta
Salam Hati Indonesia